Penulis : Aswandi Hijrah
Di tanah yang dahulu ramai dengan suara anak-anak berlari, di bawah pohon-pohon yang rindangnya pernah menjadi naungan, Bakole kini hanya tinggal dalam bisikan angin. Tanah ini tidak mati, hanya diam. Leluhur tidak pergi, hanya menunggu.
Dahulu, Bakole bukan sekadar tempat. Ia adalah kehidupan. Di sini, petani menanam mente dan kemiri dengan doa. Pohon kelapa dan jati tumbuh dengan restu leluhur. Sungai yang tak pernah berhenti mengalir menjadi saksi, bahwa tanah ini pernah subur oleh kerja keras, kebersamaan, dan keberkahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun kini, di atas nama konservasi, perkebunan leluhur dibabat. Mente dan kemiri yang dahulu memberi kehidupan kini layu dalam kesunyian. Pohon-pohon ditebang, dan tanah ini perlahan kehilangan napasnya.
TANAH SAKRAL MARIO RIAWA
Bakole adalah bagian dari Mario Riawa, tanah yang bukan hanya sekadar tempat tinggal, tetapi pusat keseimbangan antara manusia dan alam. Di sini, bukan manusia yang menguasai alam, tetapi manusia yang menyatu dengan alam.
Di malam hari, kalong (kelelawar) berterbangan di atas langit Lejja, menjadi penjaga tak kasat mata, tanda bahwa alam masih berbicara kepada kita. Di siang hari, hutan berbisik dengan suara angin yang membawa cerita masa lalu.
“Jangan kau sentuh tanah ini dengan keserakahan, karena setiap jejak kaki yang menginjak tanpa restu leluhur akan membawa beban sejarah.”
Leluhur kami percaya, bahwa siapa yang mengabaikan warisan tanah ini, ia telah menutup mata terhadap darah yang mengalir dalam tubuhnya sendiri.
KEBUDAYAAN YANG TAK BOLEH TERHAPUS
Di Bakole, budaya bukan sekadar perayaan. Ia adalah roh dari tanah ini.
Di tanah ini, Mappadendang bergema setelah panen, tabuhan lesung menjadi tanda syukur kepada bumi.
Di sungai yang mengalir, Mappatojang dimainkan, perlombaan perahu tradisional yang menyatukan jiwa-jiwa yang mencintai air.
Di malam-malam sakral, doa-doa dipanjatkan kepada penjaga alam, kepada arwah leluhur yang tak pernah benar-benar pergi.

Bagaimana mungkin tanah yang memiliki jiwa seperti ini diabaikan?
Bagaimana mungkin pohon-pohon yang ditanam dengan harapan ditebang atas nama pembangunan?
Bagaimana mungkin kebudayaan yang begitu kuat akar-akarnya dibiarkan mengering?
SERUAN UNTUK PARA PEMEGANG KEWENANGAN
Kepada Pemda dan BKSDA, dengarlah suara tanah ini.
Konservasi tidak boleh hanya berbicara tentang hutan, tetapi juga tentang manusia yang menjaganya.
Pembangunan tidak boleh hanya bicara tentang fasilitas, tetapi juga tentang identitas.
Kami tidak menolak kemajuan, tetapi kami menolak penghapusan sejarah.
Kami tidak melawan hukum, tetapi kami melawan ketidakadilan terhadap warisan leluhur kami.
Tanah ini masih berbisik.
Kalau kalian lupa, leluhur tidak akan lupa.
Bakole tidak mati. Ia hanya menunggu kita mengingatnya.
Artikel ini bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk direnungkan. Karena ketika kita melupakan Bakole, kita juga melupakan siapa diri kita.