Dugaan Konspirasi Dalam Proyek Jalan Nisombalia Hingga Pengalihan Isu ke Lahan Warga

MAROS SULSEL – Jalan tembus penghubung antar desa nisombalia dari dusun kuri Lompo ke dusun kuricaddi kabupaten Maros memunculkan polemik. Berbagai spekulasi lebar jalan kurang lebih delapan meter sangat tidak relevan dengan jalan masing masing ujung jalan penghubung hanya sekitar kurang lebih empat meter. Hutan mangrove yang tumbuh secara liar yang tepat berada di bibir pantai kuricaddi tidak luput dari sorotan warga sekitar, Rabu (12/02/2025).
Pembangunan jalan penghubung yang menghubungkan desa kuri caddi dan kuri Lompo ini dibagi dalam empat tahap, hingga pembangunannya saat ini belum rampung. Beberapa warga tidak mengetahui adanya pembuatan jalan yang sangat lebar tersebut akan di fungsikan sebagai apa kedepannya sebab lebar jalan sebelum di buat jalan penghubung dipenuhi tanaman mangrove di sekitar pesisir pantai.
Warga menduga ada upaya pengalihan isu pengrusakan hutan mangrove sengaja digiring untuk mengalihkan perhatian publik dari masalah utama yaitu pembangunan jalan penghubung dari desa kuri caddi kedesa kuri Lompo. Belum jelasnya ganti rugi lahan warga, dimana, salah satu warga setempat sempat mengadukan dan menegaskan bahwa dirinya memiliki sertifikat hak milik (SHM) yang telah diterbitkan sejak 2009, jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan lindung pada 2012.
Informasi yang didapatkan dari berbagai sumber mengatakan jika kawasan mangrove di tebang untuk pembuatan akses jalan pelabuhan bagi masyarakat di pesisir pantai. Khususnya di Dusun Kuri Lompo dan Kuri Caddi Desa Nisombalia Kecamatan Marusu menurut perbincangan warga di duga di dalamnya keterlibatan seorang pengusaha.
Disisi lain, Dinas Pekerjaan Umum kabupaten Maros melaksanakan pekerjaan Peningkatan Jalan Kuri Lompo ke Kuri Caddi Kecamatan Marusu dengan anggaran sebesar Rp. 1.784.235.000.000,- yang pelaksanaannya mulai 25 Juni 2024 sampai 21 Desember 2024 hingga saat saat ini belum rampung.
Proyek jalan dengan anggaran Rp1,78 miliar dikerjakan oleh CV Barata Karya di bawah naungan Dinas Pekerjaan Umum (PU) Maros telah menuai kontroversi sejak awal. Sejumlah warga di daerah kuri caddi mengaku belum menerima ganti rugi atas lahan mereka yang digunakan untuk pembangunan jalan tembus menuju area rencana pembangunan pelabuhan.
Ganti Rugi Tak terbayarkan hingga masalah ini telah muncul sejak 2021, ketika warga mulai menyaksikan aktivitas penebangan pohon api-api di lahan mereka oleh pekerja proyek tanpa pemberitahuan resmi.
Merunut Kontroversi Hukum ambo Masse (64) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan perusakan mangrove diduga sebagai pengalihan isu. Ia dituduh membabat mangrove seluas 6 hektare di atas lahannya sendiri yang telah bersertifikat sejak 2009 dalam hal ini diduga kuat untuk mengalihkan perhatian dari sorotan hukum oleh orang orang yang sengaja mengambil keuntungan dari masalah tersebut. Bahkan Keanehan ditemukan jika dalam Proyek tersebut papan informasi proyek tidak terpasang.
Pengamat Tata Ruang dan pemerhati lingkungan Gus Alam menilai bahwa penggunaan isu pengrusakan mangrove untuk mengalihkan perhatian publik merupakan bentuk penyalahgunaan situasi.
“Di sini kita melihat pengalihan opini yang jelas. Ketika isu tentang hutan mangrove didorong, perhatian publik menjadi teralihkan dari masalah hak tanah warga yang sah,” tambahnya.
Farid Mamma, SH., M.H., seorang praktisi hukum yang juga pemerhati permasalahan tanah, warga berhak mendapatkan ganti rugi sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum mengatur hak ganti rugi yang layak bagi pemilik tanah yang terkena dampak pembangunan.
“Jika ganti rugi belum diberikan, maka ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat yang seharusnya dilindungi negara,” ujar Farid Mamma.