Reporter : Aswandi Hijrah
Irama Sakral dari Tanah Leluhur
Dahulu kala, setiap kali panen usai atau musim tanam hendak dimulai, irama mappadendang menggema dari Kajuara hingga ke Bukit Bakole. Suara lesung yang saling bersahutan bukan hanya tentang menumbuk padi, tapi juga doa-doa kepada alam, persembahan kepada roh penjaga tanah, serta pengikat batin antar sesama warga kampung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Begitu pula dengan mappatojang, sebuah ritual budaya yang mengiringi perjalanan kehidupan: dari lahir, dewasa, hingga kematian. Orang-orang Bakole tidak sekadar hidup dari tanahnya, tetapi menyatu dengannya, menghayati setiap langkah sebagai bagian dari kosmos adat.
Namun kini, semua itu hanya tinggal gema dalam ingatan.
Ketika Konservasi Membungkam Tradisi
Masuknya kawasan konservasi BKSDA ke dalam wilayah yang dahulu ditempati oleh masyarakat Bakole dan Kajuara telah memutus rantai budaya yang turun temurun dijaga. Di balik jargon pelestarian, ritus-ritus budaya justru kehilangan ruang hidupnya.

Ladang yang menjadi tempat mappadendang kini ditumbuhi ilalang. Tempat orang-orang duduk bersila membaca mantra mappatojang, kini ditandai larangan bertindak atas nama perlindungan hutan.Tanpa ruang, tradisi akan padam.Tanpa tanah, budaya akan menjadi arwah yang kehilangan tubuhnya.
Petani yang Dituduh Merusak, Proyek yang Dianggap Suci
Ironisnya, ketika petani mencoba membuka kembali sawah untuk menanam padi seperti leluhurnya, mereka dituding merusak kawasan hutan. Tapi pohon mente, kemiri, bahkan pohon kelapa yang ditanam oleh generasi terdahulu, ditebang demi pembangunan lahan parkir dan fasilitas wisata.Siapa yang benar-benar melestarikan alam?
Yang merawat dan menanam, atau yang menebang dan membangun?
Konservasi sejati tak mematikan budaya.
Ia harus menghidupkan kembali nilai-nilai yang sudah lebih dahulu hidup dari aturan modern.
BAKOLE: Lebih dari Sekadar Nama
Bakole bukan sekadar wilayah. Ia adalah roh hidup dari tanah Mario Riawa.
Tempat di mana manusia, alam, dan arwah leluhur menjalin keseimbangan.
Tempat di mana mappadendang dan mappatojang bukan tontonan, tapi ibadah.
Kini, saat semuanya nyaris hilang, artikel ini menjadi titian, pengingat bahwa budaya tak bisa dikubur oleh pagar-pagar konservasi.