Bekasi– Proyek restorasi Pelabuhan Paljaya di Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, kini dalam sorotan setelah disegel oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP-RI). Kuasa hukum PT.TRPN, kontraktor pelaksana proyek, mengekspresikan keberatan atas langkah tersebut dan menegaskan bahwa mereka hanya bertindak berdasarkan Surat Perintah Kerja (SPK).
“Kami bertindak sebagai pelaksana sesuai dengan SPK yang dikeluarkan. Jika ada yang perlu dipertanyakan, seharusnya perhatian ditujukan kepada Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Pusat yang telah memberikan izin awal,” ungkap kuasa hukum PT.TRPN dalam keterangan resmi, Kamis (16/1/2025).

Ia menjelaskan bahwa seluruh prosedur perizinan dan penganggaran telah dilakukan dengan benar dan telah berkoordinasi dengan pihak terkait. Pada tahun 2022, perusahaan mengajukan permohonan PKKPRL kepada pemerintah pada 20 Juni 2022. Meski menghadapi kekurangan dalam syarat, KKP merekomendasikan agar permohonan tersebut dikembalikan setelah dilakukan verifikasi teknis.
Pengembalian permohonan tersebut didasari oleh beberapa pertimbangan, seperti adanya perbedaan dalam titik koordinat, lokasi permohonan yang berada dalam zona energi untuk PLTGU Muara Tawar, serta adanya aktivitas nelayan di sekitar lokasi.
“Klien kami diminta untuk meningkatkan sarana dan prasarana DKP karena di Kabupaten Bekasi, belum ada pelabuhan besar. Kami hanya menjalankan tugas di bawah SPK, termasuk melakukan pendalaman alur yang telah ditetapkan, serta membangun pagar-pagar yang telah mendapat persetujuan DKP Provinsi Jawa Barat,” tambahnya.
Namun, saat pekerjaan sedang berlangsung, muncul surat komplain dari KKP yang mempertanyakan alasan di balik aktivitas yang sedang dilakukan. Kuasa hukum menegaskan bahwa mereka bekerja atas perintah DKP Provinsi Jawa Barat dan tidak melanggar ketentuan yang ada.
“Kami menerima perintah penghentian sementara dengan alasan izin PKKPRL belum selesai. Kami merasa seolah-olah dipersalahkan dan mempertanyakan model izin yang seharusnya ditempuh. Proses perizinan ini memerlukan biaya besar, dan tindakan penyegelan ini tidak dapat kami terima. Kami merasa dipermalukan,” tuturnya.
Ia juga menegaskan bahwa KKP dan DKP telah berkoordinasi sebelumnya. “Kami telah mengikuti arahan untuk berkoordinasi, namun setelah melakukan pekerjaan, kami malah dilarang melanjutkannya dengan alasan izin yang belum ada,” jelasnya.
Dalam waktu dekat, kuasa hukum PT.TRPN berencana untuk mendatangi KKP-RI untuk meminta klarifikasi terkait penyegelan ini, menekankan bahwa kesalahan bukan berada pada pihak mereka, melainkan pemerintah. “Jika ada yang perlu disalahkan, seharusnya adalah pemerintah,” tegasnya.
