Makassar,– Prose hukum terhadap kasus pelemparan dan penganiayaan yang dialami Drs. Budiman S, S.Pd, terus disorot. Demi mendapat perlindungan dan keadilan sebagai korban, Budiman justru menghadapi kenyataan pahit yakni penanganan perkara yang tebang pilih, beberapa bukti akurat diabaikan, hingga akhirnya, hanya satu pelaku yang ditetapkan tersangka,
17/07/2025.
Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan melalui Direktorat Reserse Kriminal Khusus telah menerbitkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) Nomor: B/735/VII/RES.2.5/2025/Ditreskrimsus sebagai tindak lanjut atas Laporan Polisi Nomor: LP/573/V/2025/SPKT/Polsek Moncongloe/Polres Maros/Polda Sulsel, tertanggal 11 Mei 2025.
Namun, dalam keterangan persnya di salah satu warung kopi di kawasan Makassar, Budiman S secara terbuka mengungkap sejumlah indikasi ketidak profesionalan aparat penegak hukum, khususnya Polsek Moncongloe dan Polres Maros. Dalam kesempatan tersebut, Budiman hadir dalam kondisi baru pulang berobat, karena dampak luka dan tekanan psikologis pascakejadian.
“Yang menyerang saya banyak, tapi hanya satu yang ditetapkan sebagai tersangka oleh polres Maros, Padahal bukti batu, kerusakan rumah, saksi-saksi jelas. Ini sangat tidak masuk akal,” tegas Budiman.
Menurut Budiman, sejumlah nama yang terlibat langsung dalam aksi pelemparan dan penganiayaan pada malam 10 Mei 2025 antara lain A (Adam), An (Angga), Z (Zulkifli), Ag (Agung), S (Sirajuddin), Sy (Syahril), serta NN (satu orang tak dikenal). Namun dari ketujuh orang tersebut, hanya Adam yang ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan yang lainnya tidak diproses lebih lanjut.
Ironisnya, dalam gelar perkara khusus yang dilakukan Polres Maros pada 10 Juli 2025, nama-nama pelaku memang disebut, namun BAP Budiman sebagai pelapor tidak dibacakan secara utuh, dan bukti-bukti fisik seperti batu serta titik kerusakan rumah sama sekali tidak menjadi bahan pembahasan mendalam.
“Gelar perkara itu tidak mencerminkan pencarian keadilan. Saya melihat justru formalitas semata. Bahkan penyidik lebih fokus mendorong perdamaian dibanding menggali kebenaran,” jelasnya.
Permohonan Gelar Perkara Khusus Tak Digubris
Lebih lanjut, Budiman membeberkan bahwa pada 9 Juni 2025, tim kuasa hukumnya dari Kantor Hukum Padeng & Singmangkulangit telah secara resmi mengajukan permohonan gelar perkara khusus di Polda Sulsel. Namun hingga hari ini, tidak ada tanggapan resmi yang diberikan pihak Polda.
“Kalau seperti ini, seolah-olah korban tidak punya tempat mencari keadilan. Kami sudah ajukan surat resmi, kami patuhi prosedur, tapi dibiarkan begitu saja,” tambah Budiman.
Ia juga mengungkapkan bahwa dirinya bahkan sempat diposisikan setara dengan pelaku, hanya karena ada laporan balik dari pihak pelaku atas tuduhan pengancaman pada 12 Mei 2025. “Mereka bilang kalau pelaku ditangkap, saya juga harus ditangkap. Padahal saya ini korban. Ini sudah menyimpang jauh dari prinsip hukum yang berkeadilan,” ujarnya geram.
Desakan Evaluasi dan Supervisi Polda
Budiman menegaskan, bila dalam waktu dekat tidak ada progres dan kejelasan dari Polda Sulsel, pihaknya bersama tim hukum siap membawa kasus ini ke tingkat yang lebih tinggi, termasuk melapor ke Kompolnas, Komnas HAM, dan Ombudsman RI.
“Negara tidak boleh diam ketika rakyat kecil diperlakukan tidak adil. Polisi tidak bisa tebang pilih dalam menegakkan hukum,” tegasnya.
Kasus Budiman S adalah potret rapuhnya penegakan hukum di tingkat bawah. Ketika korban harus berjuang sendiri untuk mendapat pengakuan hukum, dan aparat justru melindungi pelaku dengan alasan-alasan prosedural yang tak masuk akal, maka publik berhak mempertanyakan: di mana netralitas dan profesionalisme aparat kepolisian?
Hingga berita ini di tayangkan, belum ada klarifikasi resmi dari pihak polres Maros perihal kasus tersebut.
